Salam

rss

Senin, 07 Juni 2010

MUD MAX : Film Untuk Lumpur Lapindo

Tidak mudah membuat film dokumenter tentang kejadian yang terus berlangsung seperti lumpur panas di Porong, Sidoarjo. Kru film MUD MAX: Investigative Documentary-Sidoarjo Mud Vulcano Disaster, harus beberapa kali menyesuaikan scenario yang disusun dengan perkembangan di lapangan.



Perlu waktu 27 bulan untuk menyelesaikan proses pembuatan film MUD MAX atau molor lebih dari empat kali waktu yang direncanakan semula yang cuma enam bulan. Tambahan itu diperlukan karena beberapa kali harus dilakukan penyesuaian pada scenario, mengingat perkembangan situasi di lapangan. “Kami siapkan frame-nya. Namun, karena ada perkembangan baru, ya harus ada penyesuaian,” jelas associate produser film tersebut, Ismutia Rahmi.

Molornya proses pembuatan film itu membuat beberapa kru harus keluar. Bukan karena ada perbedaan ide, namun semata habisnya masa kontrak. “Yang keluar itu karena sudah ada kontrak untuk proyek lain. Jadi, ya tidak bisa diperpanjang.” Tambah perempuan bertubuh mungil tersebut.

Kendala lain yang mebuat molornya pembuatan film itu adalah sulitnya mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait semburan lumpur Sidoarjo. Beberapa yang sudah setuju, menurut Ismutia ternyata menolak. “Awalnya bilang mendukung. Namun setelah kita datangi sekian kali, tidak bisa,” ungkapnya.

Mengenai besarnya ongkos pembuatan film tersebut, baik Immodicus sebagai produser maupun Arizona State University (ASU) menolak membeberkanya. Hanya, produser Chris Fong menyebut film tersebut adalah “Film Murah”. Tidak sampai sepersepuluh biaya pembuatan film dokumenter Ring of Fire,” katanya setelah premier launching film MUD MAX di Mondrian Hotel Scotssdale, Arizona, Amerika Serika, 13/11, 2009.

Murahnya biaya pembuatan film itu, menurut Chris, karena editingnya dilakukan di Indonesia. “Andai dilakukan di sini (Amerika Serikat), wow! mahal,” kata lelaki yang suka tersenyum itu. Setelah MUD MAX selesai, Chris menyatakan tidak memiliki target muluk. Dia memang mencoba mengikutkannya dalam beberapa festival film, termasuk di Cannes, Prancis. Namun, dia tidak menargetkan hasil tertentu.

“Dengan film ini, kami ingin menyadarkan para pelajar di Indonesia, utamanya, bahwa negeri mereka berpotensi besar terkena bencana,” papar Hilairy Hartnett PhD, peneliti bidang biogeochemistry di ASU. Menurutnya, harus lebih banyak pelajar Indonesia yang mempelajari geologi. Sebab hal itu membantu mengahadapi berbagai fenomena geologis Indonesia terkait posisinya di lingkaran gunung berapi Ring of Fire.

Menurut peneliti tersebut, banyak fenomena alam yang unpredictable, termasuk semburan lumpur panas di Sidoarjo. Dia bahkan tidak berani memprediksi lamanya semburan berlangsung dan akan jadi apa lokasi semburan itu. Dia hanya memaparkan hasil penelitiannya bahwa semburan itu lebih banyak mengandung air dibandingkan material padat. “Sekitar 90 persen kandungan semburan itu adalah air,” katanya pada rombongan wartawan dari Indonesia yang berkunjung ke laboratoriumnya di ASU.

0 komentar:


Posting Komentar

 

Ramadhan